SEKOLAH!

Dikutip Novel Tak Sempurna

Tentang sekolah, ada banyak hal yang belakangan ini terus membuatku berpikir – dan bertanya-tanya. Mengapa begitu banyak hal buruk terjadi di sini? Bukankah pendidikan berfungsi untuk membaikkan pekerti dan meluhurkan akal-budi? Mengapa yang kujumpai dalam kenyataan justru kebalikannya: Anak-anak pemberang yang putus asa tentang masa depannya sendiri, guru-guru yang mengajari kami berbohong dan dengan enteng mengatakan ‘jangan terlalu jujur, jangan terlalu lurus’, pamer harta-kekayaan di sekolah, pacaran yang berlebihan, narkoba dan pornografi yang kami pertukarkan dari tangan teman ke tangan teman lainnya dengan perasaan biasa-biasa saja?

Ada apa dengan semua ini? Mengapa aku merasa justru segalanya lebih baik sebelum aku memasuki dunia bernama sekolah? Ada apa dengan sekolahku? Apakah hal yang kurasakan terjadi sama di sekolah-sekolah lainnya? Mengapa kita membutuhkan sekolah? Untuk mendapatkan ijazah dan pengakuan bahwa kita “berpendidikan”?

Mari kuceritakan sesuatu yang dikatakan masyarakat tentang apa yang harus kita lakukan: Kamu harus sekolah agar bisa memasuki dunia kerja, dengan bekerja kamu akan memiliki kesejahteraan, dengan kesejahteraan kamu bisa hidup mapan. Kita segera tahu apa kata kuncinya di sana: Uang. Sekolah penting bagi kita karena suatu saat kita membutuhkan uang – dan uang hanya datang bagi mereka yang punya pekerjaan, sementara pekerjaan hanya bisa didapat dengan seperangkat ijazah dan sertifikat. Sekolah adalah tempat untuk mendapatkan ijazah dan sertifikat-sertifikat itu!

Lalu apa yang dikatakan orangtua kita? “Buat kami bangga,” katanya. Caranya? Cara berpikir mereka kebanyakan masih sama dengan cara berpikir masyarakat pada umumnya: Kamu harus sekolah agar bisa memasuki dunia kerja, dengan bekerja kamu akan memiliki kesejahteraan, dengan kesejahteraan kamu bisa hidup mapan. Lagi-lagi uang, kesejahteraan, dan pekerjaan. Sekolah adalah cara untuk mencapai semua itu – anak tangga yang boleh jadi tak terlalu penting tetapi tak bisa dilewatkan untuk mencapai puncak kesuksesan.

Benarkah? Sayangnya, aku meragukannya. Sangat meragukannya.

Mari kita lihat kenyataan sebenarnya. Bukankah 8 dari 10 orang terkaya di dunia tak menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah? Steve Jobs, Bill Gates, Richard Bronson, Oprah Winfrey, Mark Zukenberg, Henry Ford, Stephen Spielberg, dan seterusnya. Bukankah banyak di antara orang-orang terkaya di Indonesia juga tak menamatkan bangku sekolahnya? Lim Swie Liong, Susi Pudjiastuti, Willy Sidharta, dan seterusnya.

Sebagian dari kita mungkin mencibir cara berpikir ini – cara berpikirku. “Aku tidak bersekolah untuk mendapatkan banyak uang,” katamu. Lalu untuk apa kita belajar di sekolah? Untuk menjadi orang yang berguna bagi sesama – orang yang bisa memberi pencerahan denga ilmunya? Aku punya gugatan tersendiri tentang ini. Nabi Muhammad, Socrates, Malcolm X, Bunda Teresa, Shakespeare, bukankah mereka juga tak mendapatkan pendidikan di bangku sekolah? Tetapi mereka tetap bisa berbuat baik dan mencerahkan peradabannya.

Mungkin cara berpikirku tentang semua ini salah. Tetapi aku memang sedang tidak membuktikan mana yang benar dan mana yang salah. Itu tidak penting bagiku. Aku hanya seorang anak yang sedang mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan di sekelilingnya – segala sesuatu yang terus menerus membuatnya gelisah dan bertanya-tanya.

Aku memerlukan pendidikan, tak diragukan lagi, tetapi sejujurnya: Aku benci sekolah!

Pendidikan adalah kunci keberhasilan, demikian aku sering diberitahu Papa atau Mama. Tapi benarkah pendidikan harus selalu dan selamanya didapatkan dari sekolah? Aku jadi ragu tentang itu. Mengapa aku merasa sekolah justru hanya memberikan pengajaran – dan bukan pendidikan? Bagiku, bukankah seharusnya pendidikan adalah acara untuk menginspirasi manusia agar mereka mencapai kualitas terbaik dari dirinya? Mengapa pendidikan selama ini demikian kurang ajar direduksi sebatas memberi guru-guru pekerjaan untuk mengisi otak kami dengan hapalan, huruf dan angka-angka, gambar-gambar dan apa saja yang kelak akan diukur dengan seperangkat soal dalam ujian? Aku tak mau masa depanku ditentukan oleh hasil ujian!

Sekolah, bagiku, telah dan selalu mempersempit cara berpikir dan daya imajinasiku. Sekolah mungkin mengajari kita cara berpikir kritis, problem solving, dan berbagai soft-skill kreativitas lainnya, tetapi di akhir: Semuanya diukur dengan ujian! Ironis, sebab kita hanya diperbolehkan mengikuti “satu jalan”. Sesuatu yang sudah ditentukan dan seragam. Semua jawaban kita dalam ujian, sehebat apapun cara kita menjawabnya, sekreatif apapun cara kita menemukan solusi bagi sebuah persoalan, selama tak sesuai dengan kunci jawaban, guru-guru akan memberi kita tanda silang berwarna merah dan mungkin membuat kita tak lulus ujian. Itulah sebabnya mereka yang tak memiliki cara berpikir dan isi pikiran yang sama dan seragam dengan para guru, sistem, dan kurikulum akan dianggap “bodoh”,”tak lulus”,”tak memenuhi syarat”, dan seterusnya. Di sekolah, yang dianggap pintar adalah mereka yang bisa menyelesaikan soal-soal – bukan mereka yang bisa menyelesaikan persoalan.

Ah, ujian nasional! Aku muak dengan semua itu! Bimbingan belajar yang mahal, serangkaian try-out yang bikin stress, buku-buku persiapan UN yang mahal. . . Setelah itu, tak sedikit yang gagal di antara kami dalam ujian nasional digagalkan masa depannya. Ya, digagalkan. Dibuat putus asa. Dan tak sedikit dari kami, para pelajar, yang memutuskan bunuh diri karenanya.

***

Aku tidak bermaksud menolak sekolah, sebab nyatanya aku sendiri bersekolah, bekerja keras, mengikuti ujian, lulus, dan sekarang mendapatkan ijazah dan sertifikat. Aku tidak anti sekolah. Aku hanya ingin kita semua kembali memikirkan tentang itu: Mendefinisikan ulang makna paling dalam dari pendidikan dan mempersoalkan berbagai masalah yang membuat sekolah menjadi dipenuhi kebusukan – sampah-sampah nyata, sampah-sampah pikiran dan sampah-sampah perasaan.

Aku merasa diriku menjadi korban dari banyak hal. Berbagai situasi yang entah bagaimana harus kuurai dan kujelaskan.

Semua yang mungkin hanya bisa kuceritakan. Di sekolah, aku memiliki banyak teman yang broken home, mereka melarikan diri dari masalah pribadi mereka dengan mengkonsumsi narkoba atau mengumbar libido mereka di mana saja. Aku memiliki banyak teman perempuan yang hamil di luar nikah atau melakukan aborsi. Ada teman yang mati bunuh diri. Aku memiliki teman yang dipenjara karena membunuh pelajar dari sekolah lainnya. Dan aku memiliki ratusan teman yang memecahkan jerawat batu jadi tawuran di jalan-jalan.

Demikianlah, aku dan teman-temanku, kami, hidup di dunia yang tak sempurna. Saat pagi memaksa kami pergi sekolah untuk bekerja keras demi masa depan yang tak jelas. Guru-guru bagai diktator yang meneror kami agar menanam pohon masa depan yang seragam – disiram hapalan dan dipupuki serangkaian ujian yang membuat kami ketakutan.

Kamilah anak-anak sampah, seperti kata Tuan dan Puan pemerhati pendidikan, tak punya masa depan! Maka kami meledakkan amarah dan kesedihan kami di jalanan, jadi tawuran atau perkelahian. Kami pecahkan jerawat batu pubertas kami dengan adegan-adegan telanjang di depan kamera atau di tempat-tempat gelap yang rahasia. Kami rayakan kesedihan kami dengan narkoba.

Tapi di mana para orangtua saat kami rindu kasih sayang mereka? Kenapa mereka selalu sibuk? Di mana pemerintah, penegak hukum dan pemuka agama? Kenapa pelajaran moral tak pernah sungguh-sungguh kami dapatkan dari lingkungan kami yang nyata? Di bahu siapa kami bisa menangis? Di Dada siapa kami bisa menemukan rasa bangga dan rasa percaya?

Demi kebahagiaan dan waktu bermain yang direnggut, direbut, diringkas dan diringkus, kami menyatakan perang pada segala bentuk perampokan dan pengkhianatan terhadap hak-hak kami – baik sebagai anak-anak maupun sebagai manusia!

***

Demikianlah kisahku tentang sekolah. Sekolahku. Barangkali aku memang sudah lulus dan bebas dari semua itu. Tapi aku percaya, pelajar-pelajar lainnya masih butuh pertolongan. Cepat tolong mereka. Selamatkan jiwa-jiwa mereka. Sebelum semuanya terlambat.

----------------------------------------------------
10 TANDA KEMUNDURAN SUATU BANGSA

1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk
3. Pengaruh peer group (kelompok sebaya) yang kuat dalam tindak kekerasan
4. Meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti narkoba, seks bebas dan alkohol
5. Kaburnya pedoman moral baik dan buruk
6. Penurunan etos kerja
7. Rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru
8. Rendahnya rasa tanggungjawab baik sebagai individual dan warga negara
9. Ketidakjujuran yang telah membudaya
10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama
-Thomas Lickona

#Dikutip dari Novel Tak Sempurna..